.
Aku meraih bahumu, menyenderkan kepalamu ke dadaku. Lalu, dengan diiringi belaian lembut aku mengatakan, "Seba'da menikah, cinta bukan untuk ditanyakan lagi, Dik. Ia untuk dirasakan. Cinta tidak lagi diuraikan dalam kata-kata, ia mesti di-ikhtiarkan menjadi amal nyata," jelasku.
.
Kamu mencubit perutku, "Aww..." jeritku, pura-pura sakit.
.
"Abi jangan gombal mulu deh," protesmu, "Serius nih, abi teh cinta nggak sih sama adik?"
.
Dik, sesaat setelah tangan papamu menjabat tanganku, aku dengan lantang mengucapkan kalimat 'Saya terima nikahnya...". Sungguh ketahuilah bahwa di saat itu dadaku bergetar. Aku bahkan seperti tidak menemukan detak lagi di jantung ini, ia seakan hilang. Aku, dengan mudahnya mengikrarkan kalimat itu? Oh padahal itu bukan kalimat ringan, Dik. Dalam bahasa al-Quran artinya mitsaqon ghaliza, sebuah perjanjian berat. Setara dengan perjanjian Allah dan para Rasul-Nya. Sejajar dengan perjanjian Allah dan Bani Israil yang gunung Thursina sebagai taruhan-nya. Sekali lagi, itu ikrar yang teramat berat, Dik.
.
Maka cinta, perasaan yang kautanyakan itu, bukan lagi sesuatu yang terucap dalam lisan. Bukan. Ini lebih dari itu. Setelah menikah cinta haruslah seperti iman. Ia terpatri dalam hati, terdeklarasi dalam lisan, dan yang terpenting adalah teramalkan dalam jiwa dan raga, sepenuhnya.
.
Kamu melepaskan sandaran. Duduk takzim menatapku. " Bi," ujarmu dengan suara lemah, "Apa abi merasakan cinta dari adik?"
.
Aku tersenyum. Menggeleng patah-patah.
.
Dik, saat kamu memilih hidup bersamaku, lantas setiap hari melayaniku, itu adalah cinta. Cinta adalah amal sederhana. Pakaianku yang kaucuci, makananku yang kaumasak, tas kerjaku yang kautengteng, tubuhku yang kaupijit, dan semua kebaikan, sekecilnya apapun itu adalah cinta. Asalkan ia terbit dari ufuk yang halal; cahaya pernikahan. Cinta yang setelah nikah tak ternilai dengan apapun. Sebab, itulah cinta yang menghadirkan surga sebelum surga.
.
Aduhai, aku bingung kenapa banyak suami yang mengatakan, "Kayaknya istriku gak cinta lagi deh". Oh butakah mereka? Lalu pelayanan di sepanjang hari disebut apa? Lalu pengorbanan di segala waktu dikatakan apa? Heran-nya, seorang perempuan lain, semisal rekan kerja yang cantik menawan lalu dengan genit mengedipkan sebelah mata kepadanya malah disebut cinta? Yaa Allah.
.
Enggak, Dik. Aku merasakan cinta dari kamu. Dari senyum kamu. Dari tangis kamu. Dari cemberut kamu. Semuanya. Semuanya adalah cinta, Dik. Maka di sela malam, aku selalu menengadah, meminta kepada Allah agar Ia membalas cintamu itu, Dik. Dengan balasan surga yang kamu, diperkenankan memasukinya lewat pintu mana pun.
.
"Makasih, Bi." katamu dengan mata yang berkaca-kaca, "Abi tak perlu lagi mengutarakan cinta, adik sudah sangat merasakan-nya."
.
Kamu tahu, Dik. Cinta ini akan selalu tumbuh dalam hati, sebab kebaikanmu yang senantiasa menyirami. Dan aku akan berusaha, seperti janjiku, menjadikan cinta ini sebagai amal nyata.
.
Tapi...
.
"Tapi apa, Bi?"
.
Aku mengangkat dua sudut bibir, tersenyum. Mengamati wajahmu dengan seksama, lalu... dengan perlahan aku menyibak rambut yang menutupi telingamu, berbisik lirih....
.
"Tapi..." desisku, "...izinkan abi di sebelum tidur dan di setelah bangunmu untuk senantiasa mengucapkan..."
.
"Mengucapkan apa, Bi?"
.
"I Love You, Lillaah. I Miss You, Fillaah."