Friday, 1 January 2016

Menggapai Hidup Bahagia

     Segala puji bagi Allah, Pelindung orang-orang shalih dan shalihah. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (tuhan yang haq untuk disembah) melainkan Allah semata, Pencipta bumi dan langit. Dan aku bersaksi bahwa penghulu dan nabi kami, Muhammad adalah utusan-Nya yang terpilih untuk sebaik-baik seluruh risalah. Semoga Allah berkenan mencurahkan shalawat kepadanya, keluarga, dan para sahabatnya, serta kepada segenap orang-orang yang berjalan di atas manhajnya hingga hari dimana langit terpecah dan bumi terbelah (kiamat kelak).  Amma ba’du :


Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.

Di awal penyampaian ini, aku bermohon kepada Allah yang Maha Agung agar berkenan memberikan balasan kepada saudara-saudaraku yang mulia sebagai penyelenggara pertemuan ini dengan limpahan kebaikan dan dengan sebaik-baiknya ganjaran serta balasan. Aku bermohon kepada-Nya Ta’ala agar berkenan menjadikan pertemuan ini sebagai pertemuan yang dirahmati dan mengaruniakan taufik-Nya kepada kita berupa perkataan yang benar dan amal shalih yang tertuntun.


Wahai saudara-saudara yang kucintai karena Allah :



Berbicara mengenai kehidupan yang baik (al-hayah ath-thaiyibah) merupakan pembicaraan (mengenai suatu model kehidupan) yang seyogyanya setiap kita menjalani hidupnya (ke arah itu). Kehidupan, kalau tidak manusia yang menguasainya, maka manusia yang akan dikuasainya.  Berlalunya (unsur-unsur kehidupan, yaitu) waktu demi waktu, kesempatan demi kesempatan, hari demi hari, dan tahun demi tahunnya atas manusia, maka kalau tidak ia mengantarkan manusia kepada kecintaan dan keridhaan-Nya, sehingga akhirnya tergolong orang-orang yang sukses (di dunia) dan tergolong penghuni surga (di akhirat). Atau ia berlalu atas manusia, kemudian mengantarkan manusia menuju kobaran api neraka dan kepada kemurkaan Yang Maha Esa lagi Yang Pembuat Perhitungan.( ad-Dayyan).

Kehidupan, kalau tidak membuat anda tertawa sesaat, untuk selanjutnya menjadikan anda menangis sepanjang masa. Atau sebaliknya membuat anda menangis sebentar, untuk selanjutnya menjadikan anda tersenyum sepanjang masa. Kehidupan, kalau tidak sebagai sebuah kenikmatan bagi manusia, maka sebagai bencana baginya. Demikianlah kehidupan yang dulu pernah dijalani oleh orang-orang generasi pertama, para orang tua, nenek-nenek moyang, dan para pendahulu. Kemudian mereka berpulang kepada Allah Azza wa Jalla dengan segala yang mereka kerjakan.

Kehidupan pengertiannya adalah segala momentum hidup yang anda arungi dan seluruh waktu yang anda jalani.  Dan kita dikesempatan hidup yang kita jalani ini, kalaulah tidak kita menguasainya, maka kita yang akan menjadi korbannya.

Kehidupan –wahai saudara yang kucintai karena-Nya-...., Allah menjadikannya sebagai ujian dan tribulasi. Tribulasi yang menampakkan hakikat sejati para hamba-Nya, maka yang berhasil dengan rahmat Allah merupakan orang yang berbahagia, sementara yang terhalang dari ridha Allah merupakan orang yang celaka dan terlempar (dari rahmat-Nya). Setiap waktu kehidupan yang anda arungi, kalau tidak menyebabkan Allah ridha terhadap anda, maka sebaliknya. Wal ‘iyadzu billah (berlindung kepada Allah dari keadaan semacam itu). Kalau tidak mendekatkan anda kepada Allah, atau menjauhkan anda dari-Nya.

Terkadang anda menjalani hidup dalam satu momentum dari sekian momentum-momentum yang mengespresikan rasa cinta dan ketaatan kepada Allah, sehingga dimaafkan kesalahan-kesalahan hidup anda dengannya, dan  diampuni dosa-dosa yang pernah terjadi sepanjang umur anda dengannya. Terkadang anda menjalani hidup anda dalam satu momentum yang menyimpangkan diri anda dari jalan Allah, dan menjauhkan diri anda dari ketaatan kepada-Nya, yaitu momentum yang menyebabkan anda masuk ke dalam kelompok manusia yang celaka kehidupannya. (Kita bermohon kepada Allah akan kesalamatan dan kesehatan).



Di kehidupan ini (selalu) ada dua penyeru :

Penyeru (da’i) yang (senantiasa) mengajak kepada kasih sayang Allah (rahmatillah), keridhaan-Nya (ridhwanillah) dan kecintaan kepada-Nya (mahabbatillah).. Adapun penyeru yang kedua, adalah yang mengajak kepada segala yang kontradiksi dengan hal tersebut. Syahwat yang (senantiasa) mengajak kepada perbuatan jahat, atau dorongan seruan kepada akhir yang buruk.

Namun terkadang manusia menjalani hidup dalam satu momentum dari kehidupannya yang menyebabkan ia menangis dengan tangisan penyesalan atas sikapnya yang berlebih-lebihan di sisi Rabbnya, maka Allah mengganti kesalahan-kesalahannya dengan kebaikan-kebaikan, disebabkan tangisannya ini.

Berapa banyak orang yang berbuat dosa, berapa banyak orang yang melakukan kesalahan, dan berapa banyak orang yang telah jauh (dari ajaran agama), sepanjang (hidupnya) mereka berjalan menjauh meninggalkan Rabb mereka, maka mereka menjadi jauh dari rahmat Allah dan meninggalkan keridhaan-Nya. Lalu datanglah kepadanya masa dan momentum berikutnya, yaitu masa dan momentum yang kita maknai dengan suatu kehidupan yang baik, sehingga tumpahlah air mata penyesalan mereka, memicu teriakan rintihan di dalam hati, lalu orang tersebut merasa bahwa sungguh sepanjang hidupnya ia merasakan keterasingan dari Allah, dan sungguh sepanjang hidupnya ia merasa absen dari (ketaatan kepada)-Nya. Semua itu terjadi agar ia mengikrarkan, “Sungguh aku (harus) bertaubat kepada Allah, kembali kepada rahmat Allah dan keridhaan-Nya.”

Inilah masa yang merupakan kunci kebahagiaan bagi manusia, yaitu masa penyesalan. Sebagaimana para ulama menyatakan, “Sesungguhnya manusia terkadang berbuat dosa, dengan berbagai dosa yang banyak. Namun sekiranya ia jujur dalam penyesalannya dan jujur dalam taubatnya, (niscaya) Allah akan mengganti berbagai kesalahannya dengan berbagai kebaikan. Maka kehidupannya akan menjadi baik dengan kebaikan penyesalannya tersebut dan dengan kejujuran apa yang didapati di dalam hatinya dari rasa duka dan rintihan sakit."

Kami bermohon kepada Allah yang Maha Agung, Pemilik Arsy yang mulia, agar berkenan menghidupkan penyeru yang mengajak ke rahmat-Nya ini di dalam hati-hati kami, dan rintihan sakit ini yang kami rasakan dari tindakan yang berlebih-lebihan di sisi-Nya.



Saudara yang kucintai karena Allah, kita menghendaki setiap kita untuk melontarkan sebuah pertanyaan kepada dirinya (masing-masing) mengenai malam dan siangnya?

-          Berapa banyak malam-malamnya yang ia hidupkan? dan berapa lama waktu yang digunakannya?

-          Berapa banyak ia tertawa dalam kehidupan ini, dan apakah tertawanya ini merupakan tertawa yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla ?

-          Berapa banyak ia telah bersenang-senang di kehidupan ini, dan apakah kesenangan ini merupakan kesenangan yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla ?

-          Berapa banyak orang yang bergadang di malam hari, dan apakah bergadangnya ini merupakan bergadang yang menjadikan Allah menyukaimu? Berapa banyak .... ? Dan berapa banyak .... ?

-          Pertanyaan yang dilontarkan kepada dirinya sendiri.

Terkadang manusia terbersit, kenapa saya mempertanyakan pertanyaan ini?

Benar, anda melontarkan pertanyaan ini karena tidaklah terlihat di pelupuk mata, dan tidak pula di kehidupan yang anda lalui, melainkan anda bolak-balik berada dalam kenikmatan Ilahi. Maka diantara bukti munculnya rasa malu dan tersipu-sipu manusia terhadap Allah, bahwa manusia tersebut merasakan besarnya nikmat Allah yang dilimpahkan kepada dirinya dalam hidupnya.

Diantara bentuk tersipu malu kepada Allah, yaitu kita sadar bahwa  kita makan dari makanan karunia Allah, kita mengambil air dari minuman-minuman ciptaan Allah, dan bahwa kita berteduh dengan langit Allah, dan bahwa kita berjalan di atas hamparan-Nya, dan bahwa kita merasakan silih berganti (kenikmatan) dalam kasih sayang-Nya, lalu apa yang akan kita persembahkan di sisi-Nya? Manusia bertanya kepada dirinya sendiri.

Para dokter medis berkata, “Sesungguhnya di dalam hati manusia ada suatu materi, sekiranya ia bertambah 1% atau berkurang 1% (saja) maka (cukup untuk) menyebabkan kematian seketika." Maka kelembutan, kasih sayang, serta kehalusan, dan keramahan dari Allah yang menjadikan manusia menerima silih berganti kenikmatan di dalam kehidupannya.

Manusia bertanya kepada dirinya sendiri mengenai kasih sayang Allah. Ketika manusia dikaruniai pendengaran, penglihatan dan kekuatan baginya, lalu :

-          Siapa yang memelihara pendengarannya?

-         Siapa yang memelihara penglihatannya.?

-         Siapa yang memelihara akalnya?

-         Siapa yang memelihara ruhnya?

-         Ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Siapa yang menjaga semua ini?”

-         “Siapa yang mengkarunikan kesehatan dan keselamatan?”

Orang-orang yang menderita sakit, mereka tak berdaya dan merasa kepedihan. Sementara Allah hendak membuat kita senang dengan kenikmatan-kenikmatan ini, hendak membuat kita senang dengan kesehatan, kebugaran, keamanan, keselamatan. kesemuannya itu semata-mata agar kita hidup dengan kehidupan yang baik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki hambanya dalam 2 (dua) perkara :
-          Perkara pertama, melakukan segenap kewajiban-Nya.
-          Perkara kedua, meninggalkan segala larangan-Nya

Ada yang mengatakan bahwa kedekatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla menimbulkan kehidupan yang menyakitkan, atau kehidupan yang sempit. Sungguh ini merupakan dugaan yang salah terhadap Allah. Demi Allah, kehidupan (bisa) baik (hanya) dengan kedekatan kepada Allah, maka tidak akan pernah baik kehidupan ini dengan sesuatu apapun selain (dengan)-Nya.Kehidupan (bisa) baik (hanya) dengan melaksanakan segenap kewajiban-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, maka -demi Allah- maka tidak akan pernah baik kehidupan ini dengan sesuatu apapun selain dengannya. Manusia mencoba menikmati kehidupan seluruhnya, maka sesungguhnya –demi Allah- dia tidak akan menemukan kehidupan yang paling baik daripada kelezatan penyembahan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.

Anda diperintah dengan dua perkara, kalau tidak perkara yang datang kepadamu untuk kamu kerjakan atau tidak kamu kerjakan.

Sekiranya anda melakukan suatu perkara dalam kehidupan ini, tanyalah kepada diri anda, “Apakah Allah Azza wa Jalla telah mengizinkanmu untuk melakukannya?”, “Perkara apa yang kamu lakukan?”. Karena pada hakikatnya, semua jasad milik Allah, semua hati milik Allah, dan semua ruh milik Allah. Maka sudah sepatutnya bagi manusia, sekiranya hendak melangkah ke depan atau ke belakang, ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Apakah Allah ridha kepadanya, sekiranya ia hendak melangkah ke depan, (jika iya) maka melangkahlah ke depan. Atau Allah tidak ridha terhadapnya, maka mundurlah. Demi Allah,  tidaklah seorang manusia melangkah maju atau pun mundur, demi mengharap rahmat Allah, melainkan Allah akan menjadikannya ia bahagia. Dengan demikian, kebahagiaan yang sejati dan kehidupan yang baik dapat tercapai (hanya) dengan dekat kepada Allah.

Dekat ke siapa? Dekat kepada Maha Raja, Penguasa seluruh langit dan bumi. Seluruh perintah adalah perintah-Nya, seluruh makhluk adalah makhluk-Nya, dan seluruh pengelolaan merupakan tata kelola-Nya. Sementara anda akan menjumpai manusia tampak selalu dalam kondisi tertekan dan kelelahan. Anda akan menjumpai pribadi yang senantiasa memenuhi hawa nafsunya, namun –demi Allah- anda akan dapati orang yang paling menikmati pemuasan hawa nafsunya, adalah mereka yang paling banyak merasakan sakit jiwanya. Mereka yang paling banyak tertekan kejiwaannya, mereka yang paling banyak terguncang kehidupannya.

Pergi dan amatilah orang yang paling terkaya, anda akan dapati ia adalah orang yang paling banyak begadangnya di malam hari dalam kehidupan. Kenapa ? Karena Allah menjadikan kenyamanan jiwa dengan mendekat kepada-Nya. Dan menjadikan kelezatan hidup dengan mendekat kepada-Nya. Menjadikan kesenangan hidup dalam kesenangan bersama-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Satu shalat saja yang dilakukan manusia yang merupakan bagian dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, seusai melakukan rukuk, sujud, dan sikap ibadahnya yang lain kepada Rabb-Nya, sekedar keluar dari masjid, ia akan merasakan kenyamanan jiwa. Demi Allah, sekiranya ia membelanjakan segenap harta dunianya, (niscaya) tidaklah ia sanggup mendapatkan jalan untuk menenangkan jiwanya.

Kehidupan yang baik (hanya) dengan mendekat kepada Allah, kehidupan yang nyaman (hanya dengan) mendekat kepada Allah. Sekiranya kehidupan yang baik (hanya) dengan mendekat kepada Allah, lalu dengan siapa kehidupan dapat menjadi baik?
BERSAMBUNG



0 komentar:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates